Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa  dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman  penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam  memperjuangkan harga diri (kehormatan).
PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura,  tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah  membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris.  Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu  dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke  kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan  simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan  carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya  melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk  sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini  berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah,  bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M,  zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di  bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada  masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan  Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di  pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad  ke-18 M.
Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa  Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada  penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian  melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau  dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater  (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama  bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali  melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan  senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura  zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata  andalannya.
Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan  tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut.  Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan  seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan  Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah  Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata  para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil  merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa  kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya  selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi  menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih  tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung  malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan  tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan  Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun  secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat  melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu  akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi  mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras,  suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang  menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura  demikian.
Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata  lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan  senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri.  Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan  penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan  pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi  lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun  Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya,  tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
sumber : http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=44808






0 komentar:
Posting Komentar